Banner Berdiri Dalam Berita 2
Banner Berdiri Dalam Berita 2
banner 700x256

Potret Buram Birokrasi Desa; Program PTSL yang Nyaris Jadi Ajang Pungli

Ec74f28cfdaa7fd2845848b99a900a3e
Potret Buram Birokrasi Desa Program PTSL Yang Nyaris Jadi Ajang Pungli E1728354577785
ILUSTRASI
banner 120x600
banner 336x280

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang sejatinya merupakan upaya pemerintah untuk mempercepat sertifikasi tanah di seluruh Indonesia, sayangnya sering kali menjadi cerminan buruk dari birokrasi di tingkat desa. Dengan tujuan memberikan kemudahan dan biaya murah kepada masyarakat, program ini malah kerap dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan pungutan liar (pungli).

Mekanisme Program PTSL

PTSL adalah program yang penting dalam rangka memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Di atas kertas, program ini menawarkan biaya yang sangat terjangkau, di mana pemerintah bahkan menanggung sebagian besar biaya administratif dan teknis. Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi penambahan biaya di luar ketentuan resmi yang dibebankan oleh oknum aparat desa kepada masyarakat.

Pungli yang Menjerat Kepala Desa

Fenomena pungli dalam program PTSL sudah menjadi hal yang lumrah di banyak desa. Tidak sedikit kepala desa yang akhirnya terjerat kasus hukum karena memungut biaya lebih dari ketentuan resmi. Bahkan baru-baru ini, di Lamongan, lima desa diharuskan mengembalikan hasil pungli sebesar 1,7 miliar rupiah. Meskipun sudah banyak contoh yang berakhir di penjara, hal ini tampaknya tidak menimbulkan efek jera yang signifikan.

Mengapa Pungli Masih Terjadi?

Pertanyaan besar yang muncul adalah: Mengapa pungli dalam program PTSL masih berlangsung meski banyak kasus yang telah terbongkar? Ada beberapa faktor utama yang bisa menjelaskan fenomena ini:

1.  Minimnya Pengawasan

Pengawasan dari instansi terkait terhadap pelaksanaan PTSL di tingkat desa sering kali lemah. Oknum aparat desa merasa bahwa peluang untuk tertangkap sangat kecil, sehingga mereka terus memanfaatkan program ini untuk mencari keuntungan pribadi.

2. Ketidaktahuan Masyarakat
Banyak masyarakat yang tidak mengetahui secara pasti besaran biaya resmi yang diatur oleh pemerintah dalam program PTSL. Ketidaktahuan ini dimanfaatkan oleh oknum aparat desa untuk memungut biaya tambahan yang tidak semestinya.

3. Budaya Korupsi yang Mengakar
Pungli dalam program pemerintah bukanlah fenomena baru di Indonesia. Di beberapa daerah, praktik pungli dianggap sebagai bagian dari budaya birokrasi. Kepala desa atau perangkat desa mungkin merasa bahwa mereka berhak mendapatkan “bagian” dari setiap proyek pemerintah yang melibatkan masyarakat.

4. Rendahnya Efek Jera
Meski ada kepala desa yang diproses hukum, hukuman yang dijatuhkan sering kali dianggap tidak menimbulkan efek jera yang kuat. Sebagian besar oknum merasa bahwa keuntungan yang mereka dapatkan dari pungli jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko yang mereka hadapi.

Baca juga : Kajati Jatim, Mia Amiati: Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa Indonesia

5. Keuntungan Finansial yang Menggiurkan
Program PTSL melibatkan dana besar, terutama untuk pengadaan tanah dan sertifikasi tanah dalam jumlah besar. Oknum aparat desa melihat ini sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan cepat, bahkan jika itu berarti melanggar hukum. Motif ekonomi menjadi salah satu pendorong utama mengapa pungli masih terjadi.

Dampak Buruk bagi Masyarakat

Pungli dalam program PTSL jelas merugikan masyarakat. Selain beban biaya yang lebih besar, masyarakat juga kehilangan kepercayaan terhadap aparat desa. Padahal, program ini dirancang untuk membantu mereka memperoleh kepastian hukum atas tanah yang dimiliki. Ketika birokrasi di tingkat desa justru mempersulit dengan memungut biaya tambahan, program yang seharusnya meringankan malah menjadi beban.

Harapan ke Depan: Perlu Transparansi dan Penegakan Hukum

Untuk mengatasi masalah pungli dalam program PTSL, diperlukan beberapa langkah strategis:

1.  Peningkatan Pengawasan

Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas program ini, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), perlu memperketat pengawasan di lapangan. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan program di desa mereka juga harus ditingkatkan.

2. Transparansi Biaya
Biaya resmi yang dikenakan dalam program PTSL harus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. Pengumuman biaya harus dipublikasikan secara terbuka di kantor desa dan disebarluaskan melalui media massa lokal agar masyarakat tahu hak dan kewajiban mereka.

3. Penegakan Hukum yang Tegas
Kasus pungli yang terbongkar harus diproses hukum dengan tegas. Penegakan hukum yang konsisten dan cepat akan memberikan efek jera yang lebih kuat kepada pelaku pungli. Masyarakat juga perlu diberikan edukasi untuk tidak takut melaporkan praktik pungli.

4. Edukasi kepada Masyarakat
Masyarakat harus dilibatkan lebih aktif dalam mengawasi jalannya program di tingkat desa. Dengan memberikan edukasi yang memadai tentang bagaimana program PTSL berjalan dan berapa biaya yang seharusnya dikeluarkan, masyarakat bisa berperan sebagai pengawas langsung.

Potret buram birokrasi desa dalam pelaksanaan program PTSL seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menangani praktik pungli. Meski program ini sangat membantu masyarakat, pungli yang marak di lapangan telah merusak tujuan mulia dari program tersebut. Diperlukan transparansi, edukasi masyarakat, pengawasan yang ketat, dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa program ini benar-benar dijalankan sesuai dengan semangat awalnya: membantu masyarakat, bukan memanfaatkan mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *