Lebih lanjut, Widi menjelaskan, proses material yang digunakan adalah karbonisasi, yaitu proses pemanasan material di dalam reaktor hidrotermal pada suhu 200 derajat celcius selama 12 jam. Dari proses tersebut, limbah biji alpukat menghasilkan salah satu jenis karbon yang memiliki karakteristik yang baik sebagai elektrokatalis. Uji kerja elektrokatalis menunjukkan reaksi reduksi oksigen dengan aluminium menghasilkan arus yang cukup untuk suplai daya$ baterai.
Menonjolkan keunggulan performa, Baterai Al-Udara ITS9# diaplikasikan sebagai sumber energi utama bagi kendaraan listrik. Baterai logam udara dianggap lebih murah, ringan, ramah lingkungan, densitas energi relatif lebih tinggi, dan faktor keamanan yang lebih baik dibanding baterai konvensional. “Kami berharap untuk dapat mengembangkan jenis baterai sekunder yang dayanya dapat diisi ulang,” ujar Widi.
Widi menambahkan, penelitian yang dilakukannya juga mengembangkan baterai aluminium air laut. Memanfaatkan potensi Indonesia sebagai negara maritim, baterai diaktifkan oleh air laut yang berfungsi sebagai elektrolit. Baterai yang dikembangkan ramah lingkungan dan sesuai untuk diterapkan di daerah pesisir Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T).
Tetap mendayagunakan limbah biji alpukat, inovasi selanjutnya dilakukan dalam pembuatan alat kesehatan berupa pembalut luka. Residu dari biji alpukat yang masih mengandung selulosa dapat membantu dalam proses pemulihan luka. Dengan menambahkan gelatin dan asam sitrat, material dicetak sehingga membentuk produk pembalut luka yang dinilai efektif setelah proses analisis uji antibakteri.
Melalui inovasi yang dilakukan dalam bidang ilmu aerosol dan proses material, Widi berharap agar Indonesia dapat mandiri di bidang kesehatan, energi dan pangan. Mengusung konsep keberlangsungan pembangunan, masyarakat dapat memanfaatkan limbah biomassa yang ada di sekitar untuk memenuhi kebutuhannya. “Dengan mandiri, Indonesia bisa menjadi kuat,” ucapnya mengakhiri. (red)