“Itu merupakan penyimpangan demokrasi yang melemahkan,” tandasnya.
Oleh karena itu, Bawaslu berharap mari songsong Pemilu 2024 dengan penggunaan teknologi informasi secara bijak. Sebab, diakuinya, medsos yang dimiliki masyarakat pemilih itu yang sulit dibendung.
“Yang perlu digarisbawahi terkait politik kampanye hitam atau SARA, itu sudah masuk ranah pidana umum. Tapi kalau masih berkaitan dengan Pemilu, Bawaslu masih ikut dalam pengawasan dan penanganan pelanggaran,” kata Arifin.
Pemilu 2024, menurutnya adalah momen pertama kali Bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilu secara serentak. Baik itu Pileg, Pilpres maupun Pilkada.
Belajar dari pemilu 2019, lanjut Arifin, itu cukup berat bagi penyelenggara pemilu jika bekerja sendiri, terutama dari Bawaslu yang melakukan pengawasan dengan keterbatasan personel, luas wilayah dan sebagainya.
“Sehingga, jauh hari kita menggandeng pemantau, buka layanan pemantau agar mendaftar menjadi pemantau membantu kerja-kerja pengawasan Bawaslu,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, Pemilu serentak 2024 memiliki dua agenda besar, yaitu pemilihan umum presiden dan wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sedangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dilaksanakan pada 27 November 2024. (Din/Gus)