“Pertemuan saya dengan Kristin Halim membicarakan perizinan mengerjakan tambang. Izinnya ada tiga, yaitu IUP Sporasi, dan OB. Untuk ngurus suratnya di Surabaya. Sedangkan, untuk mengurus tiga surat itu membutuhkan biaya Rp 250 juta,” ungkap Andre.
Selain itu, Andre juga menyampaikan perbincangan masalah keuntungan yang ditawarkan terdakwa. Dalam tiga hektare tanah saja, Kristin Halim menyebutkan bisa mendapat keuntungan hingga Rp 40 miliar sekian. Setelah surat izin terbit, usaha pertambangan hanya berjalan kurang lebih empat bulan. Berikutnya pertambangan diberhentikan akibat rugi. “Pertambangan diberhentikan. Akhirnya kami stop dan dievalusi. Apalagi sewa alat berat saat itu mahal sekali,” katanya.
Andre menyebutkan, pekerjaan tambang dikontrol langsung oleh Kristin Halim. Namun, dia tidak pernah berkoordinasi dengan pihaknya. “Semuanya diatur oleh Kristin Halim, tapi dia tidak pernah mau koordinasi dengan saya,” kata Andre.
Tahun 2020, Andre merasa curiga dan menganggap ada yang tidak beres dalam perjalanan bisnisnya. Andre mencoba untuk membuka kembali usaha pertambangan yang ditutup dan kembali berkoordionasi dengan Kristin Halim. “Saat saya mau buka tambang lagi, harus membayar denda Rp 500 juta kepada Kristin Hakim. Tapi, saya hanya punya Rp 150 juta, akhirnya saya dimintai Rp 250 juta. Saat ditanya pada perizinan ternyata tidak ada biaya hingga Rp 500 juta,” ungkap Andre.
Pantauan media ini, sidang tersebut ditunda akibat waktu yang tidak mendukung. Sebab, persidangan yang dimula pukul 14.17 WIB dan berakhir pada pukul 15.40. WIB. Sedangkan lima saksi yang lain akan dilanjutkan pada sidang pekan datang (14/9).
Terdakwa Kristin Halim mengikuti persidangan secara online. Dia juga tidak keberatan dengan keterangan yang disampaikan oleh Saksi Andre.(Dedy)